Lama dan Pemilihan Waktu Wawancara

By: Johan Supriyanto, S.Kom. - November 15, 2017
Lama dan Pemilihan Waktu Wawancara - Wawancara harus selesai dalam jangka waktu satu jam menurut saran Field & Morse (1985 dalam Holloway & Wheeler, 1996). Sebetulnya waktu wawancara tergantung dari partisipan. Seorang peneliti harus melakukan kontrak waktu dengan partisipan, dengan begitu maka mereka bisa membuat rencana kegiatan pada hari tersebut tanpa terganggu wawancara. Partisipan pada umumnya memang menginginkan waktunya hanya satu jam. Untuk partisipan yang usianya lanjut, yang mengalamai kelemahan fisik, ataupun sakit mungkin memerlukan istirahat setelah 30 menit atau 20 menit.
Lama dan Pemilihan Waktu Wawancara

Untuk partisipan yang masih anak-anak juga tidak dapat berkonsentrasi dalam waktu yang cukup lama. Sehingga peneliti harus melakukan penilaian mereka sendiri, mengikuti apa yang diinginkan partisipan, dan dengan penggunaan waktu yang sesuai kebutuhan dari topik penelitian. Lamanya wawancara pada umumnya tidak lebih dari 3 jam. Apabila lebih dari 3 jamm, maka konsentrasi tidak akan didapatkan bahkan kalau wawancara tersebut dilakukan oleh seorang peneliti yang berpengelaman pun. Apaila dalam waktu yang maksimal data masih belum didapatkan, maka wawancara dapat diulangi sekali lagi atau lebih di waktu yang berbeda. Wawancara singkat berulang kali lebih efektif jika dibandingkan dengan wawancara sekali dalam waktu yang panjang.

Jenis Pertanyaan Dalam Wawancara dan Hal yang Terkait
pewawancara pada saat menanyakan sebuah pertanyaan, memakai bermacam teknik komunikasi dan cara bertanya. Seperti inilah daftar jenis pertanyaan yang telah dibuat Patton (1990 dalam Holloway & Wheeler, 1996): Pertanyaan pengalaman (“Bisakah anda menceritakan mengenai pengalaman anda merawat pasien?”), pertanyaan perasaan (“Bagaimanakah perasaan anda jika pasien yang pertama kali anda rawat meninggal?”), pertanyaan pengetahuan (“Pelayanan apa yang disediakan untuk kelompok pasien tersebut?”).

Menurut Spradley (1979 dalam Holloway & Wheeler, 1996) pertanyaan dibedakan menjadi grand-tour dan mini-tour. Pertanyaan grand-tour merupakan pertanyaan yang lebih luas, sedangkan pertanyaan mini-tour adalah pertanyaan yang lebih spesifik. Pertanyaan grand-tour contohnya: Bisakah anda menjabarkan kekhususan hari di bangsal? Apa yang akan anda lakukan apabila pasian menanyakan kondisinya?. Pertanyaan mini-tour contohnya: Bisakah anda menjabarkan apa yang terjadi apabila kolega menanyakan keputusan anda?.

Dalam penelitian kualitatif pertanyaan sebisa mungkin tidak bersifat mengarahkan namun masih berpedoman dengan area yang diteliti. Seorang peneliti menyampaikan pertanyaan sejalas-jelasnya dan menyesuaikan dengan tingkat pemahaman dari partisipan. Jika pertanyaan ambigu akan menghasilkan jawaban yang ambigu juga. Untuk pertanyaan dobel sebaiknya dihindari; seperti pertanyaan yang kurang tepat, misalnya berapa banyak kolega yang anda miliki, dan apa ide mmereka menganai hal ini?.

Devers & Frankel (2000) mengemukakan kalau beberapa faktor mempengaruhi jenis instrumentasi dan derajat struktur yang dipakai dalam penelitian kualitatif. Yang menajdi faktor pertamma yaitu tujuan penelitian. Jika penelitian sifatnya lebih eksplorasi atau pengujian untuk menghaluskan atau menemukan teori dan konsep, yang tepat untuk dijadikan pertimbangan yaitu protokol yang sangat berakhiran open-ended (terbuka). Kemudian faktor kedua yaitu luasnya sebuah pengetahuan yang telah ada sebelumnya mengenai sebuah subjek, contohnya sebuah konsep yang sudah ada dan dipakai secara meluas di dunia,sampai sejauh mmanakah penerapannya di Indonesia. Lalu faktor ketiga yaitu sumber yang tersedia, terutama mengenai  waktu subjek dan jumlah serta kompleksitas kasus. Faktor yang terakhir yaitu persetujuan dengan yang mempunyai wewenanag dan yang menyandang dana. Instrumen yang memerlukan waktu lama untuk melakukan analisa tertentu perlu untuk dipertimbangkan yang menyandang dana.

Penyelidikan dan Penetapan dalam Wawancara
Ketika melakukan wawancara peneliti bisa menggunakan pertanyaan prompts atau probing. Dengan menggunakan itu dapat mmengurangi kecemasan dari pihak peneliti maupun partisipan. Probes bertujuan untuk penelusuran untuk menguraikan arti maupun alasan. Seidman (1991 dalam Holloway & Wheeler, 1996) lebih suka dengan istilah menjelajahi dari pada istilah probe/ menyelidiki sebab menekankan posisi kemampuan pewawancara dan merupakan nama untuk instrumen yang dipakai dalam investigasi medis. Mungkin untuk pertanyaan eksplorasi bisa digunakan, seperti apa pengelaman anda yang menyenangkan? Bagaimanakah perasaan anda mengenai hal tersebut? Bisakah anda bercerita lebih rinci lagi tentang hal itu? Menarik sekali, kenapa anda melakukan itu?.
Pewawancara bisa melakukan tindak lanjut poin tertentu atau dengan kata-kata tertentu yang diungkapkan oleh partisipan. Partisipan menjadi lancar jika dimintai untuk menceritakan mmengenai sebuah kisah, merekonstruksi pengalaman yang mreka alami, speerti hari, perasaan, atau insiden mreka mengenai sebuah penyakit.

Mungkin Prompt non-verbal lebih bermanfaat. Dari cara berdiri peneliti, condeng kedepan, kontak mata akan mendorong refleksi. Sebetulnya ketrampilan yang didapat dalam konseling yang dipunyai seorang perawat akan memudahkan dalam melaksanakan hal ini.

Penggunaan prompt atau probe yaitu supaya wawancara dapat berjalan dengan lancar dan bisa memberikan rasa yang nyaman baik dari peneliti maupun dari partisipan tanpa keluar dari tujuan awal penelitian. Hal ini tak lepas dari kemampuan yang dimiliki pewawancara sendiri.

(Byrne, 2001) Sebagai pewawancara yang baik harus memiliki keterampilan komunikasi yang baik dan mumpuni. Keterampilan yang dimiliki meliputi keterampilan menyusun kata (paraphrasing), mmendengarkan, probing dan juga meringkas.

Mewawancarai teman/ kolega
Ada banyak tenaga profesional kesehatan yang mempunyai minat terhadap pemikiran atau pandangan kolega mereka. Terdapat keuntungan dan juga kerugian dalam wawancara teman. Norma dan bahasa yang sama bisa menjadikan keuntungan atau masalah. Menjadi keuntungan sebab konsep lebih mudah untuk dipahami peneliti termasuk dalam hal kultur partisipan. Meskipun peluang misinterpretasi bisa berkurang, salah paham bisa saja mengakibatkan asumsi yang didapat dari nilai atau kepercayaan yang sifatnya umum.

Menjadi masalah sebab terkadang pewawancara ari sesama kolega lebih cenderung tidak menayai tentang pemikiran yang bersifat umum yang tidak perlu ditanyakan lagi, meskipun sebetulnya data teersebut merupakan sasaran wawancara. Untuk menghilangkan hal tersebut, peneliti mengatasinya dengan bertingkah laku atau memposisikan diri seakan-akan orang yang berkultur asing atau pengamat naif yang asalnya bukan berlatar belakang sama dengan partisipan. Dengan begitu pemikiran yang belum diucapkan atau gagasan yang barang kali tidak ditanyakan bisa didapatkan dengan bertanya pada partisipan mengenai arti mereka dan untuk mmengklarifikasi pemikiran mereka.

Dalam banyak situasi wawancara dengan teman, antara peneliti dan partisipan ada dalam posisi yang sejajar dan peneliti tak asing dan juga bukan anonim. Hal ini adalah sebuah keuntungan untuk partisipan.

Demikian penjelasan yang dapat kami uraikan tentang Lama dan Pemilihan Waktu Wawancara yang tepat. Semoga penjelasan di atas dapat menambah pengetahuan kita.

Artikel Terkait